Terimakasih
Sempatkanlah untuk klik iklan, karena itu gratis...!
banner 728x250
Opini  

Polhut Ada, Dishut Tak Bisa Lepas Tangan Lindungi Hutan

Polhut Ada, Dishut Tak Bisa Lepas Tangan Lindungi Hutan
Foto Ilustraai.

Pernyataan bahwa penindakan kejahatan kehutanan bukan kewenangan Dinas Kehutanan (Dishut) adalah narasi berbahaya dalam tata kelola hutan. Narasi ini tidak hanya menyesatkan publik, tetapi juga berpotensi melemahkan sistem perlindungan hutan yang secara hukum telah dibangun oleh negara.

Jika Dishut benar-benar tidak memiliki peran dalam penindakan, lalu untuk apa keberadaan Polisi Kehutanan (Polhut) dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di tubuh institusi kehutanan daerah?

banner 325x300banner 325x300

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan secara tegas menempatkan perlindungan hutan sebagai kewajiban negara. Perlindungan itu bukan slogan, melainkan tindakan nyata untuk mencegah, menghentikan, dan menanggulangi perusakan hutan.

Amanat tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 juncto PP Nomor 60 Tahun 2009, yang secara eksplisit memberikan kewenangan kepada Polhut untuk melakukan patroli, pengawasan, pemeriksaan, hingga penghentian kegiatan ilegal di kawasan hutan.

Artinya jelas: Polhut bukan pajangan birokrasi. Polhut bukan sekadar pelengkap struktur organisasi. Polhut adalah instrumen negara untuk menjaga hutan di lapangan.

Ketika pejabat kehutanan menyatakan bahwa penindakan sepenuhnya urusan aparat penegak hukum, publik patut bertanya: apakah Dishut sedang menghindari tanggung jawab, atau memang tidak menjalankan mandat yang diberikan undang-undang?

Memang benar, Polhut bukan kepolisian. Namun membatasi peran Dishut hanya sebagai “penerima laporan” adalah kekeliruan serius. Dalam desain kebijakan kehutanan, Polhut justru ditempatkan sebagai garda awal. Ia hadir sebelum polisi, sebelum jaksa, sebelum perkara masuk ke meja hukum. Jika garda awal ini pasif, maka kerusakan hutan tinggal menunggu waktu.

Pendekatan yang terlalu prosedural—menunggu laporan tertulis, menunggu koordinasi, menunggu instruksi—adalah kemewahan yang tidak dimiliki hutan. Kejahatan kehutanan bekerja cepat, senyap, dan sering kali sistematis. Negara tidak bisa melawannya dengan birokrasi lamban dan narasi saling lempar kewenangan.

Persoalan tumpang tindih kewenangan pusat dan daerah memang nyata. Namun menjadikan hal itu sebagai alasan untuk menarik diri dari tanggung jawab adalah pilihan kebijakan yang keliru. Dalam kondisi kewenangan yang terbatas, justru dibutuhkan inisiatif, patroli aktif, dan keberanian institusional.

Jika Dishut hanya ingin bersembunyi di balik alasan “kami dinas teknis”, maka fungsi perlindungan hutan akan runtuh dari dalam. Hutan tidak rusak karena kekurangan aturan, tetapi karena lemahnya pelaksanaan dan keberanian menjalankan mandat.

Redaksi berpandangan: selama Polhut masih berada di bawah struktur kehutanan daerah, Dishut tidak bisa mencuci tangan dari kejahatan hutan. Negara tidak hadir hanya lewat pernyataan, tetapi melalui tindakan nyata di lapangan.

Jika hutan terus rusak sementara Polhut tetap ada, maka masalahnya bukan pada regulasi. Masalahnya ada pada kemauan menjalankan tanggung jawab.

Redaksi MAHARATI NEWS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *